Sekolah pada hakekatnya adalah lembaga formal yang melakukan pengembangan
kreativitas kultural dengan menyiapkan kader-kader bangsa di masa depan.
Sekolah memandang siswanya bukan sebagai gelas kosong yang harus diisi, tetapi
sekolah harus mampu menempatkan siswanya sebagai bibit unggul yang beraneka
ragam. Sekolah bukan sebagai pabrik yang hanya berorientasi pada produk/hasil
yang berupa barang, tetapi sekolah merupakan sebuah komunitas. Hal ini berarti
bahwa sekolah terdiri dari berbagai komponen yang saling mempengaruhi dan
memiliki ketergantungan serta interaksi dalam membangun serta mewujudkan
kader-kader manusia unggul, yang mampu menempatkan dirinya dalam memainkan
peranan kehidupan, bukan menempatkan dirinya sebagai bagian yang menjadi sampah
masyarakat ataupun sebagai kerikil-kerikil penghambat kemajuan zaman.
Sekolah tidak akan ada jika tidak ada siswa, hal ini
berarti bahwa siswa sebagai pelanggan utama harus menjadi sorotan utama dalam
pelaksanaan penyelenggaraan sekolah. Kondisi siswa dalam lingkup persekolahan
berasal dari berbagai latar belakang suku, ras, agama dan kebudayaan, sehingga
sekolah harus mampu mengakomodir segala kebutuhan dari siswa yang beraneka
ragam tersebut. Kenyataannya sekarang sekolah
hanya dipandang sebuah lembaga formal yang mentransfer pengetahuan saja, tanpa
adanya transfer nilai-nilai multikultural. Transfer nilai-nilai multikultural
berarti bahwa sekolah sebagai media dalam memberikan berbagai
pemahaman-pemahaman kepada siswa bagaimana sebuah keragaman dapat menjadi sebuah
potensi yang nyata, serta bagaimana sekolah mampu menjadi komunitas pelaksanaan
dalam pemberdayaan keragaman menuju sebuah generasi-generasi yang memiliki
semangat persatuan dan kesatuan yang tinggi.
Untuk menciptakan sebuah genearasi unggul/sumber daya manusia yang
berkualitas serta berdaya saing, sekolah harus mampu menciptakan sebuah kultur
sekolah yang positif untuk mendorong tujuan dari sekolah tersebut. Stolp &
Smith (1994), mengemukakan bahwa kultur sekolah adalah pola makna yang
dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai, keyakinan, seremonial,
ritual, tradisi, dan mitos dalam derajat yang bervariasi oleh warga
sekolah. Sekolah yang tidak berorientasi pada pembangunan kulltur sekolah yang
positif dan penuh dengan nilai-nilai positif pula, semakin lama akan banyak
ditinggalkan oleh masyarakat.
Saat ini perlu adanya perubahan paradigma konsep sekolah ke arah
penerapan nilai-nilai multikultural. Kepala sekolah sebagai manajer di sekolah
mengelola serta mendorong seluruh warga sekolah untuk membangun sebuah
kultur sekolah yang menghargai perbedaan. Kedudukan guru sebagai pengajar dan
pemberi ilmu serta panutan bagi siswa, harus memberikan contoh perilaku yang
memberikan penghargaan kepada seluruh siswanya tidak memandang latar belakang agama,
budaya ataupun suku.
Ada berbagai pendapat yang mengemukakan berbagai nilai-nilai yang
terkandung dalam sekolah, dalam buku The Intelligent School yang ditulis
oleh MacGilchrist, B. at al (2004) bahwa sekolah yang mampu menerapkan
sembilan kecerdasan dinamakan sebagai sekolah cerdas. Sekolah cerdas adalah
sekolah yang mewujudkan suatu makna komunitas dimana hak, tanggungjawab dan
kebutuhan pembelajar adalah jantung dari usaha yang timbul menggunakan paling
tidak perpaduan. Sembilan kecerdasan tersebut meliputi Ethical Intelligence,
Spiritual Intelligence, Contextual Intelligence, Operational Intelligence,
Emotional Intelligence, Collegial Intelligence, Reflective Intelligence, dan
Paedagogic Intelligence, Systemic Intelegence.
Yang sangat menarik dalam konsep sekolah cerdas tersebut adalah penerapan
konsep kecerdasan etik yang memberikan panduan bagaimana sekolah sebagai
komunitas mampu mengembangkan segala tanggung jawab serta hak antar seluruh
warga sekolah. Selain itu terdapat konsep inklusi, yang menganggap bahwa
sekolah cerdas mampu mengembangkan kesetaraan kesempatan, penggunaan kemampuan,
pengembangan harga diri dan keyakinan pribadi. Dalam kecerdasan etik juga
menganggap sangat penting sekali, sekolah menjunjung tinggi prinsip keadilan
dan saling menghargai (MacGilchrist, B. at al 2004). Dalam konsep
sekolah cerdas juga disinggung mengenai bagaimana sekolah sebagai lembaga
formal harus memiliki kecerdasan kontekstual yang artinya sekolah harus
memandang dirinya sendiri secara internal, lokal ataupun ruang lingkup
global/internasional.
Dengan konsep keberagaman potensi yang dimiliki ataupun karakteristik
yang dimiliki sudah sewajarnya manusia saling hormat menghormati dan saling
menghargai perbedaan tersebut. Budaya saling menghargai perbedaan harus dijadikan acuan dasar dalam
membangun komunitas sekolah. Macgilchrist B et.al, (2004: 115)
mengemukakan bahwa: “ Kesemua ini adalah tanda dari sebuah lingkungan sekolah
yang menghargai orang sebagai mana layaknya. Ketika remaja terikat oleh sebuah
komunitas sekolah sehari-harinya mereka belajar pelajaran tentang kepedulian,
penghormatan, dan pelayanan satu sama lain dengan berbagai bantuan dari
pasangan dan gurunya mereka juga belajar bagaimana memaafkan, memperbaiki
hubungan yang renggang, menerima kritik serta memperdebatkan pandangan yang
berbeda.”
Dengan kenyataan bahwa di Indonesia banyak sekolah
yang berorientasi pada transfer pengetahuan saja tanpa ada upaya peningkatan
transfer nilai-nilai menjadikan negara ini banyak orang pintar tapi tidak memiliki
nilai-nilai yang positif sehingga memicu terjadinya korupsi, disintegrasi
bangsa bahkan memicu pada kehancuran sebuah bangsa. Untuk menjaga hal-hal yang
tidak diinginkan tersebut, diperlukan adanya perubahan paradigma pengelola
pendidikan, pemerintah ataupun masyarakat akan fungsi dan tujuan sekolah yang
bukan hanya mentransfer pengetahuan saja tetapi juga bagaimana sekolah mampu
menanamkan nilai-nilai positif bagi siswanya.
Kedudukan sekolah sebagai sarana peradaban masa depan, diarahkan pada
bagaimana sekolah mampu menyediakan bibit-bibit unggul yang berupa sumber daya
manusia yang berkualitas serta berakhlakul karimah. Pendekatan pertama
melalui langkah strategis. Perubahan-perubahan strategis perlu dilakukan oleh
sekolah diantaranya adalah; 1) Sekolah melakukan analisis lingkungan internal
dan eksternal. Hal ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar potensi yang
ada di sekolah, serta seberapa besar keanekaragaman yang ada di sekolah ataupun
di lingkungan sekitar sekolah. 2) Menyusun rencana nilai-nilai sekolah yang
akan dijadikan dasar pengembangan sekolah. 3) Penyusunan tugas dan peranan
setiap komponen sekolah untuk mensukseskan pencapaian terhadap nilai dan norma
sekolah; 4) Pelaksanaan 5) Monitoring dan evaluasi.
Pendekatan kedua penerapan konsep the intelligent school. Konsep
sekolah cerdas diimplementasikan dalam lembaga persekolahan. Untuk
mengimplementasikan konsep sekolah cerdas, diperlukan pemahaman pengelola
sekolah terhadap sembilan prinsip kecerdasan yang meliputi; Ethical
Intelligence, Spiritual Intelligence, Contextual Intelligence, Operational
Intelligence, Emotional Intelligence, Collegial Intelligence, Reflective
Intelligence, Paedagogic Intelligence, dan Systemic Intelligence.
Kedua pendekatan tersebut dirasakan cukup untuk mampu merubah sekolah
menjadi sekolah cerdas yang mampu mengembangkan nilai-nilai yang positif.
Sedikit demi sedikit sekolah bukan saja dianggap sebagai lembaga formal yang
mencetak orang-orang pintar saja tetapi sekolah mampu mencetak manusia-manusia
unggul yang memiliki excellent personallity yang mampu menjadi
pemimpin masa depan, karena hakikat dari sekolah adalah tangan-tangan yang
mempersiapkan peradaban masa depan.
Untuk membangun sebuah sekolah yang mampu menerapkan konsep pluralistik,
inklusi ataupun kontekstual dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dengan
langkah stratejik ataupun dengan implementasi konsep intelligent school. Tujuan
akhir dalam pembahasan ini adalah bagaimana mengantarkan masyarakat ke arah perubahan paradigma
berfikir mengenai konsep sekolah seutuhnya.
----oO(
Semoga Bermanfaat )Oo-----
Daftar Rujukan:
- The Intelegent Scholl (MacGilchrist, B)
- Filsafat Pendidikan (James Mills)
- Strategi Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah (Arifin, S.Pd., M.Pd)
0 komentar:
Posting Komentar